Sunday, May 12, 2013

International Crisis Group : Ditolak atau Diterima Pusat, Partai Aceh Tetap Untung Soal Bendera Aceh

“Aceh semakin lama semakin kelihatan seperti daerah kekuasaan satu partai,” kata Jim Della-Giacoma, Direktur Program Asia untuk Crisis Group.

“Pertanyaannya adalah apakah mereka menggunakan kekuasaannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, atau hanya untuk membangun elit baru,” tambah Giacoma.

Jakarta - Kontroversi soal bendera Aceh saat ini tak hanya sedang menguji sejauh mana batas otonomi khusus tetapi juga membuat geram pemerintah pusat. Disamping itu polemik bendera ini juga meningkatkan ketegangan antar suku, menghidupkan kembali semangat pemekaran propinsi, dan menambah kekhawatiran munculnya kekerasan menjelang pemilu nasional 2014.

Untuk itu Internasional Crisis Group sebuah group yang memberikan kebijikan bagi negera-negara asing menerbitkan sebuah laporan dengan judul: Indonesia: Tensions over Aceh’s Flag (Ketegangan Seputar Bendera Aceh).

International Crisis Group (ICG) mengkaji dampak politik dari disahkannya sebuah qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 25 Maret 2013. Laporan ICG biasanya dipakai para kepala negara, diplomat, inteligen, analis, serta pebisnis untuk mengetahui situasi terakhir sebuah wilayah di dunia ini.

Menurut ICG pengesahan bendera merupakan peresmikan bendera bekas gerakan pemberontak GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi bendera resmi propinsi Aceh. Pemerintah pusat menganggap qanun ini bertentangan dengan sebuah peraturan pemerintah yang melarang penggunaan simbol-simbol separatis, oleh karena itu harus diubah.

Sementara itu, Partai Aceh, partai politik lokal yang dibentuk oleh para petinggi GAM, mengatakan bendera itu tidak dapat dikatakan bendera separatis sejak pemimpin GAM menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Indonesia di Helsinki tahun 2005 dimana tercantum pengakuan terhadap kedaulatan Republik Indonesia di Aceh.

Berikut beberapa point penting dalam laporan ICG:

1. Partai Aceh merasa tidak perlu berkompromi karena para petingginya yakin Jakarta akan tunduk pada keinginannya seperti tatkala pilkada gubernur tahun lalu. Partai Aceh juga ingin memanfaatkan kekuatan emosional yang sangat besar dari bendera Aceh untuk memobilisasi pemilih untuk pemilu 2014.

2. Apapun yang dilakukan Jakarta, Partai Aceh akan menang. Kalau Jakarta menolak bendera Aceh, Partai Aceh bisa menjadi populer di mata para pendukungnya, karena menentang pemerintah pusat. Sebaliknya, kalau pemerintah pusat menerima bendera Aceh, Partai Aceh menjadi yakin bahwa bersikap ngotot akan membawa hasil, dan kemungkinan para petingginya kemudian akan menuntut untuk mendapat lebih banyak wewenang.

3. Partai Aceh saat ini sedang membangun kendalinya secara sistematis terhadap lembaga-lembaga politik di propinsi Aceh, sehingga makin susah mendepak mereka melalui pilkada di masa depan. Mereka sudah menguasai lembaga eksekutif dan legislatif di tingkat propinsi, dan di banyak kota dan kabupaten.

4. Partai Aceh juga sedang mengerahkan pengaruhnya terhadap pegawai negeri sipil dan Komisi independen Pemilu (KIP) Aceh. Partai ini juga mengendalikan sebuah lembaga baru, yaitu Wali Nanggroe, yang dibentuk untuk melindungi nilai-nilai dan budaya masyarakat Aceh.

“Perdebatan ini lebih dari sekedar soal apakah bendera Aceh merupakan simbol separatis. Sesungguhnya perdebatan ini adalah tentang kemana Aceh akan menuju dan akan seperti apa hubungannya dengan Jakarta,” kata Sidney Jones, penasihat senior program Asia untuk Crisis Group.http://sphotos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/p480x480/945980_512126385501437_1222771997_n.jpg

No comments:

Post a Comment